“Pada intinya dari semua amarah adalah sebuah kebutuhan yang tidak terpenuhi.”
~ Marshall B. Rosenberg
Yuk Evaluasi Diri!
Beberapa hari belakangan ini,
saya mendapat pencerahan tentang kemarahan orang tua terhadap anak-anak. Sumbernya
ini nggak lain dari pengalaman pribadi (memarahi anak) dan beberapa tulisan
hebat yang saya baca. Saya terdorong untuk mengevaluasi dan melihat jauh ke
dalam diri saya sendiri:
Kapan sih terakhir kali saya marah pada anak?
Apa yang biasanya menjadi sebab kemarahan saya?
Seberapa sering saya marah?
Apa saja yang saya katakan dan lakukan saat saya sedang marah?
Apa yang saya lakukan setelah saya marah?
Dan sayangnya, saya TIDAK BANGGA
dengan hasilnya.
Saya ingin berusaha untuk melepaskan
diri dari kebiasaan marah terhadap anak dan segala bentuk perilaku bawaannya
yang negatif (sikap dan kata-kata yang tidak baik).
Memang menjadi orang tua itu
tidak mudah (tidak pernah ada yang berani bilang begitu) dan ketidaksiapan
fisik dan mental yang antara lain disebabkan oleh kelelahan dan kewalahan yang
terus menerus setiap saat, memang kadang sungguh bisa memendekkan ‘urat’ sabar
kita. Kemarahan kita bisa dari skala kecil hingga besar (mulai dari sekedar cemberut
dan kernyit dahi pada anak, hingga berteriak dan menghukum anak). Namun satu
hal yang saya sadari, meskipun awalnya kecil/remeh, jika kita terus memberi tempat untuk si amarah
(misalnya dengan membiarkan diri terus mengomel), betapa mudahnya amarah itu
berkembang menjadi besar. Kita tentu tahu bahwa amarah seringkali di analogikan
dengan api, karena memang sifatnya sama, semakin dibiarkan, akan semakin ganas
dan tentunya berakibat fatal.
Ekspresi kemarahan
Semua orang bisa marah. Itu adalah
salah satu bentuk emosi terdasar manusia yang sulit diabaikan. Tapi bagaimana
cara kita mengekspresikan rasa marah kita itu, terlebih lagi dalam hal ini terhadap
buah hati kita sendiri, anak-anak yang (katanya) ingin kita didik menjadi
pribadi yang lebih baik (dari kita!). Perilaku anak yang telah semakin besar,
semakin mandiri, semakin pintar bicara, semakin banyak tahu tapi juga sering
lupa (hehe), kadang terasa mengetes kesabaran kita dan sungguh memancing emosi.
Belum lagi segala kecerobohan, kelalaian dan perilaku di luar aturan yang menyesakkan
dada orang tua.
Seringkali bukan hanya perilaku
(mata melotot, suara nyaring, membentak, tangan menunjuk, apalagi kalau sampai
menyakiti anak secara fisik, seperti menjewer, mencubit, menarik/mendorong
dengan kasar, memukul, menampar, dsb) MARAH kita saja yang tidak baik, tapi
kata-kata kita yang sifatnya menuduh (”Ini kenapa airnya tumpah semua? Pasti
kamu megang gelasnya nggak becus kan?”), menyalahkan (“kalo bukan karena kamu jatuhin,
handphone mama kan pasti gak rusak gini!”), mengancam (“kalo sekali lagi mama liat kamu ngompol, awas ya! Kena
jewer nanti.”), menghina (“Siapa lagi yang bisa ngeberantakin rumah ini selain kamu?!”), menyudutkan (“Memang
dasar kamu aja yang nggak pernah mau dengerin mama, jadinya salah beli kan!”),
mempermalukan (“Semua anak kelas 2 nggak ada lagi yang masih ditungguin orang
tuanya, Cuma kamu doang! Tau nggak?”), memberi julukan/labelling (“Lagi-lagi mukul teman. Dasar anak nakal!”) dan banyak
lagi.
Kenapa kita marah?
Seperti yang jelas diungkapkan dalam kutipan di atas, adalah kemarahan muncul sesungguhnya dari sebuah kebutuhan yang tidak terpenuhi. Misalnya, di rumah kita memiliki kebutuhan untuk dapat memiliki rumah yang rapi dan bersih, jadi saat kebutuhan itu tidak bisa dipenuhi karena anak-anak kita menumpahkan minuman/makanannya di karpet kesayangan atau membiarkan mainannya berceceran di seluruh penjuru rumah, tentu dengan mudahnya kita akan marah kan? Sebagai orang tua kita juga punya kebutuhan untuk dihormati dan didengar oleh anak, jadi saat anak menolak untuk mendengarkan perkataan anda dan justru melawan, kemarahan menjadi respon otomatis kita.
Memahami pentingnya mendewasakan diri sendiri
Satu fakta penting tentang kemarahan kita sebagai orang tua, adalah
bahwa kita ini adalah role model bagi
anak dalam mengatasi rasa marah dan mengendalikan emosi. Hal ini sangat menginspirasi saya karena coba
anda pikir, jika anda selalu menghadapi suatu setiap ketidaknyamanan emosional
dengan marah-marah dan sikap yang lepas kendali, kira-kira akankah anak kita
tumbuh memiliki pengendalian emosi yang baik? Rasanya nggak mungkin deh.
Jangan pernah lupa, dalam
hubungan kita dengan anak, kitalah orang dewasanya. Hal ini berarti kita tidak
bisa mengharapkan anak memahami segala keberadaan kita dan maklum. Dewasalah dan
jadilah contoh.
Satu cara yang efektif untuk
menempatkan diri di posisi anak anda saat anda sedang memarahinya adalah dengan
mencoba membayangkan dirinya melihat anda sebagai orang tuanya (yang nota bene
adalah satu-satunya SUMBER MAKANAN, TEMPAT BERTEDUH, RASA AMAN, PERLINDUNGAN, SUMBER
SEGALA CINTA DAN KASIH SAYANG, SUMBER UTAMA AKAN INFORMASI TENTANG DUNIA INI
DAN ORANG YANG PALING BERPERAN DALAM MEMBENTUK GAMBARAN DAN HARGA DIRINYA) berteriak-teriak
dan mengatakan hal-hal yang tidak baik dan menyakitkan di depan wajah anda. Kalau
menurut anda, bagaimana kira-kira perasaannya?
Dalam sebuah penelitian dikatakan
bahwa sesungguhnya kita tidak perlu mengekspresikan kemarahan kita pada saat kita merasakannya. Karena penelitian tersebut membuktikan bahwa justru dengan mengekpresikan kemarahan pada saat itu juga,
justru membuat kita lebih marah dari sebelumnya. Hal ini justru membahayakan
hubungan kita karena akan membuat orang lain merasa takut, tersakiti dan bahkan
merasa marah juga. Jadi adalah lebih baik untuk menyalurkan kemarahan kita
secara fisik (misalnya memukul bantal, tanpa terlihat anak tentunya!) jika sangat perlu, tapi selanjutnya kita
harus kembali menenangkan diri kita. Cara yang terbaik untuk mengahadapi
kemarahan adalah dengan membatasi ekspresi kita seminimal mungkin dan pada saat
kita sudah tenang, pelajari amarah itu dengan menanyakan pada diri kita
sendiri; Apa yang membuatku begitu marah? Apa perasaan yang sebenarnya di balik
kemarahanku; rasa takut atau sakit hati? Apa yang bisa kulakukan untuk memenuhi kebutuhanku yang tak terpenuhi dan apa yang bisa kulakukan untuk mengubahnya?
Saat kita marah, secara biologis,
tubuh kita pun bereaksi. Jantung berdetak lebih cepat, pernafasan dan suhu
tubuh meningkat, karena itulah kita cenderung ingin melepaskan ketegangan itu
segera. Cara paling baik adalah dengan mengendalikan
reaksi tubuh kita dan menarik nafas dalam-dalam, bila perlu hitung di dalam
hati, jika masih belum hitung lagi lebih banyak, supaya kita bisa tetap
mengendalikan diri. Jika benar-benar tak tertahankan, tinggalkan ruangan dan tenangkan
diri. Lebih hebat lagi kalau bisa dibawa lucu, tertawa untuk melepaskan
ketegangan dan mengubah mood kita.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam
mengendalikan kemarahan, adalah bahwa kita harus menetapkan batasan pribadi bagi kita sendiri. Misalnya kita bisa
menentukan, kalau kita benar-benar marah, kita mungkin akan menaikkan volume
suara kita dan mengubah nada suara kita, tapi berkomitmenlah anda tidak akan
memberlakukan hukuman fisik, menggunakan julukan, hinaan dan juga kata-kata
yang sekiranya kasar dan menyakiti anak. Berikan juga batasan toleransi atas
hal-hal apa yang sekiranya ‘layak’ membuat anda marah dan melakukan perilaku
yang tidak dapat diterima, misalnya apabila perilaku anak sudah sampai
membahayakan dirinya sendiri dan orang lain atau sangat merugikan dan
berbahaya.
Bisa juga berkaitan dengan nilai-nilai moral yang dianut keluarga (contoh: menghormati orang yang lebih tua, tidak boleh memukul orang lain, harus bermain bergantian/tidak boleh berebutan, tidak boleh mengejek/menghina orang lain, dst), dan anda hanya akan marah apabila terjadi pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut. Jadi kita bisa fokus pada banyak hal lain yang lebih penting daripada meributkan setiap hal kecil yang muncul.
Bisa juga berkaitan dengan nilai-nilai moral yang dianut keluarga (contoh: menghormati orang yang lebih tua, tidak boleh memukul orang lain, harus bermain bergantian/tidak boleh berebutan, tidak boleh mengejek/menghina orang lain, dst), dan anda hanya akan marah apabila terjadi pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut. Jadi kita bisa fokus pada banyak hal lain yang lebih penting daripada meributkan setiap hal kecil yang muncul.
Perlu juga untuk mengkaji kondisi emosi kita setiap
saat, apakah selain dipicu oleh perilaku anak, apakah kemarahan kita itu dipengaruhi
oleh, misalnya kita sedang bersitegang/berselisih dengan pasangan, teman,
keluarga atau atasan. Apabila hari kita sedang berat, kondisi tidak fit/sakit,
lelah bekerja atau karena penyebab lain, jangan ragu untuk menyampaikan dengan
jujur pada anak tentang kondisi kita dan bahwa kita sangat mengharapkan mereka
untuk bersikap dan berperilaku yang baik. Kejujuran kita adalah hal yang sangat
penting dalam menjalin kedekatan dan rasa percaya kita dengan anak. Anak pun
belajar bahwa orang tua hanya manusia dan memiliki keterbatasan, bagaimana pun
ingat, andalah teladan baginya!
Last but not least, satu lagi yang teramat sangat PENTING untuk
diingat adalah jangan pernah malu atau ragu untuk meminta maaf pada anak apabila anda terlanjur marah atau
mengucapkan kata-kata yang tidak sepantaskan diucapkan, terlebih lagi bila kita
melakukan sesuatu yang tidak seharusnya kita lakukan! Betapa beruntungnya anak mendapat orang tua
yang dewasa, berbesar hati dan mau mengakui kesalahannya. Tidak ada yang lebih
baik daripada orang tua yang menjadi teladan manajemen kemarahan yang baik bagi
anak-anaknya.
Saya ingin sekali berusaha mulai
saat ini untuk menyapih diri dari kemarahan terhadap anak-anak saya. Saya tahu
ini tidak akan mudah dan adalah proses belajar yang tentunya harus bertahap
(persis seperti proses penyapihan pada umumnya) agar saya bisa fokus pada
membangun kedekatan dan hubungan yang lebih baik lagi dengan kedua anak
laki-lakiku tercinta.
* Sebagian sumber dan inspirasi: www.ahaparenting.com
** gambar diambil dari sini
No comments:
Post a Comment