Wednesday, March 02, 2011

Against All Odds: Menjadi Orang Tua yang Pintar

Jadi orang tua pintar yuk!
Minggu lalu kami sekeluarga sempat melakukan perjalanan ke luar kota selama seminggu, lebih tepatnya pulang kampung ke rumah orang tua. Banyak hal-hal seru karena yang namanya pulkam itu pasti asyik, ketemu dengan sodara2 yang udah lama gak ketemu, melepas rindu dan gak lupa, jalan-jalan! Hehehe.

Satu hal yang cukup menonjol adalah kenyataan bahwa sebagian dari kami telah menjadi orang tua :) umumnya merupakan orang tua baru dengan 1 anak. Lucu banget liat bayi-bayi dan balita yang saling ketemu. Ada yang cuek, ada yang galak dan sebagainya. Tapi ceritanya jadi lain ketika para orang tua yang bertemu, apa iya semuanya selalu asyik?
Ajang pembandingan dan 'kontes' anak terlucu jadi tidak terelakkan (nggak jauh sama suasana di Play Group dll). 
Anak siapa yang paling gemuk? Paling cakep/cantik? Paling cepet bisa ini dan itu? Paling keren (branded, red) baju-bajunya? Paling oke gadgets-nya (stroller, carrier etc)?

Saya rasa sudah jadi kebiasaan (diakui ataupun tidak) bagi orang tua untuk cenderung membandingkan anaknya dengan anak orang lain, entah itu dikatakan atau di dalam hati. Yah, berakar dari kecintaan kita yang besar pada si buah hati, pusat dunia kita. Kadang mungkin sulit untuk menerima bahwa ada yang lebih 'baik'/'lucu'/'pintar' dari anak-anak kita.
Belum lagi soal kebiasaan maupun gaya parenting masing-masing orang yang pasti berbeda dan mendorong kita untuk cenderung menghakimi cara pengasuhan orang lain.

Saya dan baby Neo jadi 'pusat perhatian' karena menjadi satu-satunya ibu (di keluarga besar) yang setia dengan ASI ekslusif dan MPASI rumahannya. Ada yang bilang, "Ooh, cuma ASI ya? Tapi dikasih minum vitamin khan? Vitaminnya apa?" seakan nggak percaya kalo ada bayi yang bisa hidup 'hanya' dengan ASI, atau "Wuiiih, niat banget sih ampe bawa-bawa panci dan saringan kemana-mana? Bawa-bawa sayuran juga?" dengan muka nggak percaya, "Kalo V***** sih, yang instan-instan aja deh!, kemaren aja kita nyoba beliin dia sup di McD*****s, eh dianya suka malah!" dengan wajah bangga, sambil nuang air panas ke mangkuk plastik berisi Bubur Ayam Instan.
Ada juga komentar sinis karena saya belum memberikan gula dan garam di MPASInya Neo, "Lho?! Kok gak dikasih garam sih? Trus nggak ada rasanya dong? Kasian amat anaknya makan tawar-tawar?!", mata melotot, nada agak tinggi. "Kasih dikit dong, kasian ntar bayinya nggak tau makan enak!".
Belum lagi keputusan saya dan suami yang memberikan vegetarian diet sampai baby Neo berusia 1 tahun, langsung ditanggapi negatif, tanpa menanyakan terlebih dahulu alasannya, "Duh, kalo makanan bayi tuh harus pake ayam dong, pake daging! Ati, ceker! Biar cepet gemuk anaknya!". Oh ya ampun! Setahu saya di bawah 1 tahun makanan bagi bayi lebih pada latihan mencerna makanan dan pengenalan akan berbagai jenis tekstur makanan. 
Belum lagi manakala mereka membahas tentang merk susu formula yang paling bagus. Testimoni dan cerita tetangga tentang sufor merk A yang sukses bikin anaknya gemuk seketika! Juga sufor merk B yang murah tapi bagus. Bla bla bla. Cerita tentang pengalaman eksperimen coba-coba berbagai susu formula, sampai dia menemukan satu yang paling baik karena sukses bikin gemuk anaknya!

Ada juga anjuran yang sifatnya setengah 'memaksa' untuk minumin kopi hitam ke baby Neo, katanya itu obat anti step kalo panas demam ???? Satu lagi dari dunia Mitos.
Ada suatu ketika, baby Neo disuruh-suruh (agak maksa) cicipin jipang, coklat S****r Q***n, bak pao dan pisang goreng! Disertai dengan 'penjelasan', "Bayi tuh nggak boleh dijaga-jagain makanannya! Biarin aja dia makan apa yang kita makan, nanti kan lama-lama biasa dianya!". Saat itu juga terulang kembali di kepala saya, cerita teman tentang bayi 6 bulan yang meninggal karena dikasih makan tahu isi goreng yang dibeli di gerobakan pinggir jalan. Rewel, nggak bisa pup, besoknya dibawa ke dukun, dipijit, besoknya meninggal. Whew!
Bagaimana kalau mereka tahu bahwa tiap kali demam, batuk atau pilek, saya nggak membawa anak saya ke dokter, hanya dirawat di rumah saja (home treatment) ya? Bisa pecah perang antar generasi kali yaa... :-p

Tidak ada satu pun cara membesarkan anak yang paling benar, karena yang terpenting adalah mana yang paling sesuai dengan kebutuhan kita. Saya tidak mau menjalankan sesuatu hal/cara kalau tidak jelas alasannya. 
Sekarang bukan jaman mencoba-coba atau meraba-meraba lagi, tapi perbuatan yang didasarkan pada pengetahuan dengan alasan yang jelas. 
Bukanlah hal yang bijaksana atau adil memaksakan suatu hal kepada orang lain apabila kita tidak punya data penguatnya. Semua pilihan haruslah didasari riset yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan 'katanya' atau 'denger-denger'. Saya bukannya tidak mau menghargai 'apa kata orang tua dulu' tapi saya mau yang terbaik untuk anak saya, jangan salahkan kalau saya lebih percaya riset.

Siapa bilang jadi orang tua nggak harus pintar? Siapa bilang jadi orang tua nggak harus banyak-banyak belajar?

Pekerjaan dengan tanggung jawab terbesar adalah menjadi Orang Tua, karena taruhannya adalah kesehatan tubuh dan juga mental anak. Pengasuhan anak berarti proses belajar terus menerus, jangan puas hanya dengan pengetahuan yang sifatnya turun-temurun saja dan menutup mata dengan ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Mau punya anak pintar? Jadi orang tua pinter dulu dong!

* gambar diambil dari sini

No comments:

Post a Comment